On and on
Just one hand can heal another
Be apart
Reach your heart
Just one spark starts a fire
With one little action
The chain reaction will never stop
Make us Strong
Shine a Light and Send it On
Send it on
“Okey! Bagus. Latihan untuk hari ini selesai. Sekarang kalian bisa pulang. Terima kasih dan tetap latihan di rumah!” perintah Pak Dimas-guru vokal paduan suara, “Emm Reisya? Bisa kesini sebentar?” pinta Pak Dimas kepada Reisya yang baru saja akan melangkah keluar dari ruang musik.
“Ya Pak?” tanya Reisya.
“Saya ingin bicara dengan kamu sebentar. Seperti yang kamu tahu, kompetisi ini sangat berarti untuk sekolah kita. Dan tolong jangan membuat saya berpikir ulang tentang memilih kamu untuk tampil solo dalam kompetisi ini.” Kata Pak Dimas.
“Maksud Bapak?” tanya Reisya keheranan.
“Reisya, saya minta kamu untuk lebih disiplin saat berlatih. Akhir-akhir ini kamu sering mangkir dari latihan, datang terlambat. Kamu tahu kan, kalau kompetisi ini tinggal satu bulan lagi?!”
“Iya, Pak. Saya minta maaf. Tapi Bapak sendiri kan tau kalo saya memang cukup sibuk. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di luar. Saya kan juga harus latihan cheers, rapat OSIS dan juga pemotretan dan shooting. Bapak bisa maklum kan?” kata Reisya memohon.
“Selama itu tidak mengganggu jadwal latihan kita, itu tidak masalah buat saya. Malah saya bangga punya murid yang aktif seperti kamu. Tapi kamu harus menentukan skala prioritas. Ini untuk tim,” jelas Pak Dimas.
“Siap, Pak!” kata Reisya yang lalu hendak pergi meninggalkan Pak Dimas, tapi dicegah oleh Pak Dimas.
“Tunggu Reisya! Saya belum selesai. Masih ada satu hal lagi,” Pak Dimas menarik nafas, bersiap-siap meluncurkan pidatonya lagi. Reisya tampak was-was, menduga-duga apa yang akan terjadi, “Suara kamu bagus. Indah malah. Itu yang membuat Bapak berpikir untuk memasang kamu dalam penampilan solo lagu ini. Tapi...... saya tidak merasakan nyawa dari lagu ini. Saya merasa kamu seperti asal nyanyi. Asal bunyi. Pesan dari lagu ini tidak sampai ke telinga saya. Saya minta sama kamu untuk lebih berlatih dalam penghayatan lagu ini. Mengerti?” tanya Pak Dimas yang diikuti anggukan dari Reisya, “Kamu bisa pulang sekarang!” lanjut Pak Dimas.
Sambil menunggu Reisya, Agni memilih untuk berada di ruang OSIS untuk menyelesaikan pekerjaannya. Di OSIS ini jabatan Reisya sebagai sekretaris 2. Dan sekarang dia sibuk membuat undangan rapat OSIS untuk besok. Tidak lama, Edo datang menghampiri Agni. Edo juga salah satu pengurus OSIS yang bergerak di bidang mading. Hasil tulisannya sering di pasang di mading. Dan tidak sedikit yang memuji kehebatannya dalam menulis. Puisi-puisinya pun sering diikut sertakan dalam lomba-lomba. Dan tidak jarang Edo memenangkannya. Tapi kepopuleran Edo hanya sebatas karyanya saja. Tidak banyak yang mengenal Edo karena memang Edo tipe orang yang introvert. Murid-murid populer macam Reisya mana mungkin mengenal Edo?!
Edo salah satu siswa yang menggunakan program beasiswa. Dia siswa yang berprestasi. Selalu menjadi juara kelas sejak dia masih SD. Selain karena berprestasi, dia mendapatkan beasiswa juga karena ekonomi keluarganya yang lemah. Satu tahun yang lalu keluarganya terpaksa harus pindah rumah dari istananya terdahulu di Menteng. Ayahnya terbukti terlibat kasus penggelapan uang dan harus meringkuk di penjara dan membayar denda atas perbuatannya. Rumah dan harta bendanya pun disita. Dan sampai sekarang ayahnya harus tetap bertahan di penjara sampai paling tidak tiga tahun lagi. Untuk itu Edo yang merupakan anak sulung di keluarga, harus membantu ekonomi keluarganya dan menggantikan peran ayahnya menjadi kepala keluarga untuk menghidupi Ibu dan kedua adik perempuannya. Ibunya mengalami depresi ringan. Tapi jangan mengharapkan respon yang baik dan wajar dari ibunya ketika kalian berkunjung ke rumah Edo!
“Agni?” panggil Edo yang sempat mengagetkan Agni karena suara langkah Edo yang nyaris tak terdengar.
“Hei, Do,” sapa Agni, “Loe belum balik?” tanya Agni.
“Belom. Masih ngurusin mading,” jawab Edo sambil menggeser kursi agar berhadapan dengan Agni, “Kamu lagi ngapain?” Ini dia salah satu ciri khas Edo. Tidak pernah menggunakan kata ‘Loe-Gue’ dalam bahasa sehari-harinya.
“Bikin undangan rapat buat besok,” jawab Reisya. Kedua matanya tertuju pada kertas yang sedang dibawa Edo yang membuat dia penasaran ingin tahu, “Apaan tuch?” tanya Agni sambil menunjuk kertas yang berada di genggaman tangan kanan Edo.
Edo sedikit gelagapan ketika Agni bertanya seperti itu. Dengan malu Edo memberitahu Agni bahwa kertas itu berisi puisi yang dia buat untuk Reisya. Sebenarnya Edo juga teman SMP dan tetangga Reisya ketika masih di Menteng. Tetapi Reisya tidak pernah mengenal Edo. Dan sejak SMP, Edo sudah menyimpan perasaan untuk Reisya tanpa berani mengutarakannya. Baginya, Reisya sangat sulit untuk digapai.
“Untuk Reisya dari pengagummu, Edo???” Agni tampak terkejut ketika membaca bagian terakhir puisi itu.
“Iya. Puisiku jelek ya?” tanya Edo dengan wajah memelasnya.
“Bukan gitu. Puisi loe bagus. Bagus banget malah. Tapi, kalo loe nyantumin nama loe di puisi ini, loe sama aja ngungkapin perasaan loe ke Reisya,”
“Emang itu tujuan aku. Emang kenapa?”
“Emang kenapa??? Reisya udah punya cowok. Dan cowoknya itu si Bono. Loe tau kan gimana si Bono?!”
“Iya. Tapi.......”
“Loe cuma cari mati,” kata Agni tiba-tiba, “Gue nggak mau nyakitin loe. Tapi...” Agni mengambil nafas di sela pembicaraannya. Dia takut kata-kata yang akan keluar dari mulutnya akan menyakiti perasaan Edo, “Gue kenal baik siapa Reisya. Dan kalo dia sampai tau pengagumnya itu loe yang notabene......” Agni tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya. “nggak populer dan nggak selevel buat Reisya” lanjutnya dalam hati.
Edo tahu apa yang selanjutnya akan dikatakan Agni, “Aku tau, Agni. Kamu nggak perlu ngelanjutin omongan kamu.”
“Kalo gue boleh kasih saran ke loe. Mending loe urungin lagi niat loe ini. Selain loe bakal dapat masalah dari Bono, loe juga bakal dapat masalah dari Reisya sendiri. Loe ngerti kan?”
Edo hanya mengangguk pelan tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Dia berpikir Agni ada benarnya. Tentu saja Reisya tidak akan terima jika pengagumnya adalah dari kalangan murid unpopuler. Dan dalam lima menit mereka hanya diam tanpa bicara sedikit pun. Karena tidak tahu apa yang akan dilakukan lagi, Agni membereskan meja dan merapikan berkas-berkasnya. Sesekali dia melirik Edo yang tertunduk lesu menatapi puisinya.
“Gue balik ya, Do,” pamit Agni yang kemudian berjalan keluar dari ruang OSIS meninggalkan Edo sendirian di sana.
“Reisya!”
Merasa namanya dipanggil, Reisya langsung menoleh ke asal suara. Sebenarnya dia malas untuk merespon panggilan itu. Suaranya terdengar sangat familiar. Suara-suara yang setiap malam selalu mengganggunya. "" Oh sh*t! Kenapa mesti ketemu Bono sekarang?" Batin Reisya.
“Seharian ini aku nggak ketemu kamu. Kangen....” kata Bono setelah berada di depan Reisya.
“Oh ya? Hehe” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah belakang Bono. Reisya langsung menoleh dan mencari suara itu. Tapi Boni terlihat tenang-tenang saja.
“Calm down, beib. Biasa anak-anak kok lagi seru-seruan..” kata Bono mencoba menenangkan Reisya.
“Seru-seruan apa?” tanya Reisya penasaran.
“Apa lagi?? Si cupu...”
“Diapain???”
“Nggak tau. Kayaknya ditelanjangin sama anak-anak,” Bono lalu menarik tangan Reisya dan mengajaknya duduk di bangku dekat mereka, “Duduk dulu dech, ngobrol bentar.”
“Aku lagi nggak ada waktu. Besok aja ya ngobrolnya! Bye...” pamit Reisya yang langsung berlari ke arah Agni yang baru keluar dari ruang OSIS. Bono yang ditinggal sendiri memilih bergabung bersama teman-temannya yang masih asyik dengan “mainan” mereka.
“Agni! Loe kemana aja sich?” tanya Reisya sambil menjajari langkah Agni.
“Ruang OSIS. Bikin surat undangan. Besok mesti dateng loe!”
“Besok?? Gue ada casting iklan provider baru.”
“Terserah loe aja dech. Nanti kalo dapet teguran dari Dira, baru kapok loe!” kata Agni.
“Alah Dira gini...” kata Reisya dengan nada meremehkan. Reisya tampak celingukan melihat tiap sudut sekolah seperti mencari sesuatu atau mungkin seseorang, “Mana sich si Tommy??”
“Loe balik sama Tommy? Mau kemana emang?” tanya Agni tampak antusias.
“Nggak. Tommy kesini mau nyamperin gebetannya yang baru. Gue penasaran aja siapa orangnya,” jawab Reisya.
“Gebetan??” tanya Agni lesu. Umur panjang. Tommy tiba-tiba datang dari arah belakang Reisya dan Agni mengageti mereka dengan menepuk pundak mereka. Agni yang tahu bahwa Tommy-lah yang mengagetkannya malah senyam-senyum tidak jelas. Tapi tangan Tommy tidak juga pergi dari pundaknya. Tommy malah melingkarkan lengannya ke pundak Agni-pundak Reisya juga sebenarnya-, tapi tetap saja, Reisya tidak merasakan apa-apa. Berbeda dengan Agni yang sibuk menahan rasa groginya ketika Tommy berada begitu dekat dengannya. Dia terus berupaya menenangkan dirinya dalam hati. “Apa-apaan sich gue pake acara deg-degan segala?! Calm down Agni! Ambil nafas, buang. Ambil nafas, buang. Ambil nafassssss, bu........" BREEEETTTT*
“Suara apaan tuch??” tanya Tommy kaget.
“Great! Kentut di depan cowok yang loe taksir?? SMART!Please God! Jangan sampai Tommy sama Reisya tau kalo suara itu dari hamba..” batin Agni masih dengan rasa deg-degannya yang bertambah akibat insiden kentut ini. Tapi Reisya dan Tommy sudah tidak mempedulikan suara “aneh” tadi lagi. Tommy pun melepaskan lengannya dari kedua cewek itu, yang membuat Agni bisa bernafas lega.
“Tommy! Gue tungguin dari tadi. Gue penasaran sama gebetan loe itu. Yang kata loe, gue aja lewat dibandingin sama dia,” kata Reisya.
“Bentar lagi juga nongol...” kata Tommy sambil mencoba mencari sosok gebetan barunya.
“Namanya siapa sich?” tanya Reisya penasaran.
“Emmm Alexa.”
“ALEXA?????” teriak Reisya saking terkejutnya.
“Ya, Sya?” jawab seorang cewek yang tiba-tiba ada di hadapan Reisya. Jelas. Cewek itu adalah Alexa, “Hai Tom? Jadi mau pergi?” tanya Alexa pada Tommy.
“Jadi dong!” jawab Tommy. Tiba-tiba Reisya menarik tangan Tommy dan membawanya menjauh dari Alexa, “Apa-apan sich loe??” tanya Tommy tidak terima.
Kisah klasik anak remaja. Ada bagian cinta-cintaan, persahabatan atau genk-genk eksis, dan tentu juga ada pihak musuh yang mewarnai kehidupan remaja. Termasuk Reisya. Baginya, Alexa adalah musuh bebuyutannya. Mereka berdua sama-sama bersaing mendapatkan tempat teratas di SMA ini. Tentu saja memperebutkan gelar “Princess of the school” alias cewek paling populer di sekolah. Alexa juga sama dengan Reisya yang mempunyai background di dunia model. Bahkan bisa dibilang, Alexa terjun lebih dulu dan namanya lebih dikenal sebagai model dibanding Reisya. Itu yang membuat Reisya tidak terima dan sangat terobsesi untuk menyaingi Alexa. Mereka berdua juga sama-sama aktif di kelompok Cheerleaders sekolah. Tentu saja berupaya mendapatkan posisi sebagai head cheerleader. Itulah yang membuat suasana persaingan sangat kental di antara mereka.
“Yang musuhan sama Alexa itu loe, bukan gue. Jadi gue bebas mau pergi sama dia, mau dating atau malah pacaran sama dia,” tegas Tommy.
“Tapi....” belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Tommy sudah meninggalkan Reisya dan berlalu bersama Alexa. Dan Reisya cuma bisa menggerutu sendiri, “Ahh nyebelin! Nggak bakal gue biarin Alexa manfaatin Tommy buat ngehancurin popularitas gue!”
“................ There's Power in all the choices we make, So I'm starting now not a moment to wait.........” Itu sepenggal kalimat yang ada di lagu yang akan dibawakan solo oleh Reisya. Reisya tampak sedang berusaha keras untuk melatih suaranya dan tentu saja penghayatannya yang dinilai oleh pelatih paduan suaranya, Pak Dimas, kurang. “Kurang apa lagi sich gue?? Bisa-bisanya Pak Dimas bilang gue nggak ada penghayatan, nggak tulus nyampein lagu,” gerutu Reisya di depan cermin besar di kamarnya.
“Kurang keras loe! Gila. Suara loe itu sampai kedengeran di depan rumah,” kata Tommy yang tiba-tiba saja sudah berada di depan pintu kamar Reisya. Reisya yang tahu Tommy datang langsung menunjukkan sikap tidak sukanya dan memasang muka cemberutnya. “Masih ngambek loe? Ya ampun, Rei... Gue mesti gimana biar loe nggak ngambek lagi?” tanya Tommy.
“Jauhin Alexa!” jawab Reisya ketus.
“Segitu bencinya loe sama Alexa? Padahal dia anaknya lumayan asik loh.. Loe nya mungkin yang belom kenal dia dengan baik.”
“Dia itu belagu. Dan gue yakin, dia cuma nggunain loe buat nyari tau kelemahan-kelemahan gue. Yah walaupun gue juga nggak tau kelemahan gue apa. Dan kita itu kan temenan udah dari kecil. Musuh satu musuh bersama kan?!”
“Bukan karena gue ganteng??” tanya Tommy.
“Plis deh, Tom. Gue serius. Bukannya selama ini loe selalu ngertiin gue. Loe kan udah kayak abang gue sendiri. Gue masih adek kesayangan loe kan?!” bujuk Reisya dengan jurus andalannya yaitu tatapan matanya yang mengiba dengan sedikit berkaca-kaca.
“Oke dech.....” kata Tommy pasrah karena dia emang tidak tahan dengan tatapan mata Reisya yang mulai mengiba seperti itu.